Sebuah ungkapan yang keluar dari pikiran saya ketika berjalan menelusuri lorong - lorong pertokoan di ditengah hiruk pikuknya keramaian kota Atambua, aku melihat banyak orang dengan kesibukannya masing-masing. Ada kendaraan roda dua maupun roda empat yang dikendarai pemiliknya berlalu lalang di persimpangan jalan.
Dalam tatapan diam saya melihat ada yang terburu-buru dengan kendaraannya,mungkin mereka secepatnya ingin bertemu dengan keluarganya, ada juga yang membawa kendaraannya dengan kecepatan sedang ada juga yang pelan seirama dengan pikiranku dalam menatap dan melihat segala sesuatu yang terjadi tanpa di ketahui oleh mereka apa yang sebenarnya ada dalam pikiranku.
hari itu para pedagang kaki lima masih asyik berjualan di pinggiran badan jalan seputaran jalan Pramuka pasar baru Atambua, ada pedagang yang baru tiba di lokasi itu, ada yang mengatur daganganya untuk di jual esok harinya, ada pula yang sedang merapikan barang dagangannya.
Hari mulai senja para pejalan kaki terus berjalan dengan gegas tanpa peduli ada yang mengamati gerak-geriknya, ada yang berhenti sejenak dan membeli sayur selanjutnya berlangkah lagi menuju tujuannya masing-masing.
hari itu saya hanya menikmati semua aktivitas dan kesibukan para pejalan kaki, para penjual yang menawarkan jualannya kepada para pembeli, ya itulah kesibukan di pasar dan disinilah terjadi teransaksi jual beli.
Sepanjang perjalanan pulang dalam lamunan, saya melihat keramaian yang ada di sekitar lokasi pasar itu, saya tersentak, disana terlihat sesosok orang tua renta merunduk di bak sampa mencari sesuatu bagai binatang jalanan, semua mata tertuju padanya namun tidak menghiraukannya, saya terpaku sambil menatap sosok sang bapak itu, kualihkan pandangannku melihat dan terus menatap dia yang sedang mencari sesuatu dalam bak sampa di tengah kerumunan orang itu.
Saya berjalan sambil mencoba untuk menghampirinya dan memulai percakapan, awalnya saya merasa enggan oleh karena reaksi bahasa tubuhnya tidak menerima kehadiran saya di hadapannya. Dengan tenang saya mencoba mendekati dan menyapanya " selamat sore Bapak " sapaku kepadanya, mendengar sapaanku ia menatapku tersenyum bersahabat, namun seketika raut wajahnya berubah lusu, aku semakin mendekat dan penasaran ada apa gerangan raut wajahnya berubah menjadi lusu. Maaf bapak " apakah saya mengganggu ? " tidak ada jawaban darinya, dia hanya tersenyum dan mengangguk kepalanya, saya mencoba lebih mendekatinya dan terbaca bahasa tubuhnya saat dirinya mengelus-elus dada dan perutnya dan dia memberi isyarat bahwa ia belum makan.
Saya penasaran dan mencoba berkomunikasi dengannya namun dirinya tidak dapat berkata apa-apa oleh karena beliau " bisu ", saya mencoba berkomunikasi dengan bahasa isyarat menanyakan, tempat tinggal dan keluarganya namun tidak bisa dijelaskan olehnya, hanya bahasa isyaratnyalah yang menyatakan bahwa dirinya sudah dua hari tidak makan.
Saya tersentak kaget dan tidak percaya, dalam hati saya bergumam betapa sakit dan pedihnya menjalani hidup ini dimanakah sanak keluargamu sehingga engkau diterlantarkan bagai sampah yang luput dari mata manusia, hatiku begitu tersayat, adakah sanak keluargamu di sekitar wilayah Belu ini tanyaku kepadanya namun dirinya diam membisu tanpa suara membuat diriku ikutan diam, dengan rasa ibah saya mencoba untuk berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, saya terkejut antara percaya dan tidak, sungguh saat itu hatiku berkecamuk siapa yang salah atas semua realita ini ? mengapa hal ini bisa terjadi kepada bapak ini, apakah tidak ada lagi orang yang peduli ataukah oleh karena rakus dan tamaknya penghuni dunia ini membuat sesamanya terlantar bagaikan yatim piatu dibiarkan bagai sampah yang luput dari perhatian, sungguh sangat menyakitkan.
Dalam hati yang berkecamuk sejenak saya berdiri dan menatapnya air mataku jatuh, saya mengajaknya untuk makan nasi goreng di emperan terotoar yang jaraknya tidak jauh dari hadapan kami, " ayo kita makan " ajakku, awalnya ia menolak ajakanku namun saya memegang tangan dan merangkulnya menuntun menghampiri warung nasi goreng itu.
Kamipun makan nasi goreng yang sudah saya pesan tanpa peduli banyak mata yang memperhatiakan kami, oleh karena keadaannya. Dengan hati yang senang dan gembira kami menghabiskan makanan yang sudah ada di atas meja, saya sangat senang oleh karena ia memakannya dengan lahap, sebelum kami berpisah, saya memesan tamba sebungkus nasi goreng dan sebotol air mineral dan menyodorkan selembar uang rupiah agar digunakannya untuk dapat memenuhi kebutuhan makan minumnya apa bila ia lapar ataupun haus.
Sehari berikutnya saya mencoba melewati lagi badan jalan yang sama tetapi tidak kutemukan lagi sang bapak wajah lusuh yang bisu itu, mungkin ia sedang mengais rejeki di emperan toko ataukah ia sudah pergi jauh meninggalkan kota Atambua ataukah ada keluarganya yang sudah menjemputnya ? Saya hanya diam seribu bahasa melihat semua realita yang ada dan melebur dalam realitas itu.
Semoga bermanfaat.
Bahan untuk refleksi
Hidup ini adalah kesempatan maka jalanilah hidup ini dengan penuh tanggung jawab, berbagilah dari kekurangan kita kepada mereka yang membutuhkan.
Hengki mau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar